Pola Asuh
Perkembangan seorang anak sangat dipengaruhi
oleh lingkungannya. Lingkungan yang terdekat, yang paling awal dan yang terlama
dialami seseorang adalah lingkungan keluarga. Dan dalam lingkungan keluarga
tersebut, yang memiliki andil atau pengaruh terbesar dalam perkembangan seorang
anak salah satu diantaranya adalah pola asuh orangtua. Bagaimana cara orangtua
mendidik dan mengasuh sang anak, dapat menentukan baik-buruknya perkembangan
anak.
Pola asuh orangtua menurut Diana
Baumrind yaitu, pola asuh, permisif indifferent,
permisif indulgent, otoriter, dan
otoritatif. Akan tetapi yang akan dibahas di sini adalah pola asuh otoriter.
Pola asuh otoriter merupakan pola pengasuhan anak yang bersifat pemaksaan,
keras dan kaku di mana orangtua akan membuat berbagai aturan yang harus
dipatuhi oleh anak-anaknya tanpa mau tahu perasaan sang anak. Orangtua akan
emosi dan marah jika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang
diinginkan oleh orangtuanya. Hukuman mental dan fisik akan sering diterima oleh
anak-anak dengan alasan agar anak terus tetap patuh dan disiplin serta
menghormati orangtua yang telah membesarkannya.
Idealnya, anak hasil didikan
orang tua otoriter lebih bisa mandiri, bisa menjadi orang sesuai keinginan
orang tua, lebih disiplin dan lebih bertanggungjawab dalam menjalani hidup.
Akan tetapi, pola asuh otoriter ini biasanya lebih sering menyebabkan anak tidak
bahagia, paranoid/selalu berada dalam ketakutan, mudah sedih dan tertekan,
senang berada di luar rumah, benci orangtua, dan hal-hal negatif lainnya.
Contoh kasusnya (saya ambil dari
komik “Godhand Teru) adalah tentang seorang anak yang bernama Takeru, yang
dibesarkan orang tuanya dengan keras, tanpa memperoleh kasih sayang yang
dibutuhkannya, kesenangan dan kegembiraan bermain dengan teman sebayanya.
Setiap hari ia harus berlatih bermain piano tanpa henti, bahkan saat sakit
sekalipun. Orangtuanya menginginkanya menjadi pianis terkenal meneruskan jejak
mereka. Pada suatu saat, saat ia sakit, orangtuanya malah pergi konser ke luar
negeri tanpa menjenguknya. Bahkan saat mereka pulang pun, yang ditanya pertama
kali bukanlah keadaannya. Akan tetapi, mereka malah bertanya apakah ia tidak
bolos latihan, dan langsung menguji kemampuan bermainnya. Pada saat ia protes,
orangtuanya malah mengatakan agar ia jangan egois, karena semua itu demi
dirinya dan mereka tidak butuh anak yang membolos latihan.
Pada kasus pola asuh otoriter,
orangtua sering memaksakan kehendak mereka. Mereka beranggapan bahwa semua yang
mereka lakukan adalah demi anaknya. Mereka seakan-akan lebih tahu apa yang
terbaik bagi anaknya, tanpa mereka mempedulikan perasaan dan keinginan si anak.
Sering terjadi, mereka menetapkan aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh anak,
dan tidak akan segan-segan menghukum si anak apabila tidak mematuhi
aturan-aturan tersebut (biasanya dalam bentuk hukuman fisik).
Dengan pola asuh semacam ini,
anak akan kehilangan jati dirinya. Karena semua yang mereka lakukan telah
diatur, sehingga anak tidak dapat mengekspresikan dirinya. Selain itu, anak
juga akan cenderung kurang berinisiatif. Karena apa yang akan mereka kerjakan
sudah diatur oleh orangtua mereka. Tugas mereka hanya patuh dan melakukan apa
yang telah diperintahkan kepada mereka. Mereka seakan-akan hanyalah sebuah
robot yang dikendalikan oleh para orangtua.
Seperti pada contoh kasus di
atas, Takeru dipaksa orang tuanya untuk terus berlatih bermain piano, meskipun
itu harus mengorbankan waktunya bermain, dan bersenang-senang bersama
teman-teman sebayanya. Bahkan di saat sakit sekalipun, ia tidak boleh bolos
latihan piano. Dan ia akan dihukum jika tidak melaksanakannya, bahkan dianggap
tidak dibutuhkan sebagai seorang anak.
Selain itu, dengan pola asuh
otoriter tersebut akan membuat anak menjadi tertekan dan menjadi pribadi yang
tertutup (introvert). Apalagi dengan terus-menerus
berlatih piano, menyebabkan Takeru menjadi kurang bergaul dengan teman
sebayanya atau kurang bersosialisasi. Sehingga dapat menyebabkan Takeru menjadi
pribadi yang tertutup, dan kemampuan dalam berkomunikasi dan berinteraksi
kurang berkembang dengan baik. Hal ini pada akhirnya, tanpa disadari dapat
membuat seorang anak menjadi minder dan kurang percaya diri.
No comments:
Post a Comment